SISTEM TANAM PAKSA (CULTURSTELSEL)
Pelaksanaan sistem tanam paksa
(culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam
memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha
Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan
pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi
dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda. Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia
pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri
dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia,
Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari
pihak pribumi.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.Pada
hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman
wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830. Ketentuan-ketentuan sistem
tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih
kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem
tanam paksa, antara lain:
1.
Orang-orang
Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman
yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang
diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa
2.
Bagian
tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak
3.
Pekerjaan
untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri
4.
Hasil
dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat,
maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk
memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan
dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal
Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen
yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang
oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen
(1817 – 1830). Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang
Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan
meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada
bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi
yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam
perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi
parlemen dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai
tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
Pada awal pergantian abad ke 18
secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan
pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun
1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Kemunduran
serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap
dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam paksanya
dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan
moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam sistem
paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak
mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup
dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa
rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC. Penghasilan
tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos
administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC
gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu.
Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni
perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat
kebangkrutan VOC.
Pada awal pergantian abad ke 18
secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan
pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun
1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Kemunduran
serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak
cakap dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam
paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan
kemerosotan moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam
sistem paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak
mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup
dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa
rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC. Penghasilan
tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos
administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC
gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu.
Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni
perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat
kebangkrutan VOC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar