Minggu, 09 Juni 2013

Tanam Paksa/CULTURSTELSEL

SISTEM TANAM PAKSA (CULTURSTELSEL)

Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda. Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1.      Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa
2.      Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak
3.      Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri
4.      Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 – 1830). Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
Pada awal pergantian abad ke 18 secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Kemunduran serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam sistem paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC. Penghasilan tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu. Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat kebangkrutan VOC.
Pada awal pergantian abad ke 18 secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Kemunduran serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam sistem paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC. Penghasilan tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu. Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat kebangkrutan VOC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar