Selasa, 15 November 2011

Fenomena Terorisme di Indonesia

 

A.    Dari sisi teroris :
1.      Apa alasan perbuatan teror di Indonesia ?
2.      Mengapa orang mau menjadi teroris ?
3.      Apa tujuan khusus para teroris ?
Jawaban :
            Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, namun teror atau terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Perbedaannya hanya terletak pada sasaran intimidasi dan sabotase (tindakan pengrusakan yang dilakukan secara terencana, disengaja dan tersembunyi terhadap peralatan, personil dan aktivitas dari bidang sasaran yang ingin dihancurkan yang berada ditengah-tengah masyarakat, kehancuran harus menimbulkan efek psikologis yang besar)  umumnya langsung, sedangkan pada terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme biasanya adalah orang yang tidak bersalah.
Para  teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Selain itu para terorisme juga ingin mempertahankan aqidahnya yaitu jihat. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia yang menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa.
Tujuan para teroris secara khusus adalah mempertahankan aqidah dalam ajarannya dengan jalan jihad. Dimana menurut mereka jihad yang mereka lakukan merupakan jihad di jalan agama (mempetahankan aqidah) dengan ganjaran mati sahid. Para teroris pun sering ikut  merasa kecewa terhadap musuh-musuh islam yang telah mereka yakini. Dengan latar belakang inilah mereka juga melakukan terorisme pada musuh mereka.
Banyak yang dapat di lakukan para teroris dalam aksinya memerangi musuh mereka, salah satunya adalah melakukan tindakan bom bunuh diri di tempat-tempat dimana banyak musuh mereka berkumpul. Mereka juga ingin mendirikan negara yang berlandaskan atas islam, namun mereka mengalami kegagalan. Kegagalan dalam mendirikan negara islam juga memicu terjadinya terorisme. Dalam aspek ini kelompok yang kontra dengan para teroris, mereka anggap sebagai musuh.
Berbagai upaya telah mereka lakukan agar aqidah yang terdapat dalam ajaran mereka tetap bertahan atau bahkan dapat menggantikan peran pancasila sebagai ideologi. Tindakan memerangi musuh mereka juga tidak akan berhenti begitu saja selama “calon pengantin” masih tersedia. Tindakan-tindakan para teroris ini menimbulkan banyak pro kontra dalam masyarakat. Mereka yang pro terhadap terorisme disinyalir juga merupakan cikal bakal “calon pengantin”. Sedangkan mereka yang kontra pada umunya adalah masyarakat yang merasa di rugikan dengan tindakan-tindakan ang di lakukan oleh para teroris.
Mati satu tumbuh seribu. Mungkin itulah pepatah yang dapat mengibaratkan para teroris. Jika satu dari anggota mereka alah menjalankan tugasnya dan mendapat ganjaran mati sahid, maka para anggota yang ain telah menyiapkan cikal bakal dari “calon pengantin”.
B.     Dari sisi negara :
1.       Apa yang harus di lakukan negara terhadap para teroris ?
2.      Bagaimana efektifitas penanganan dan penyelesaian kasus teror selama ini ?
Jawaban :
            Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatas namakan agama.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.
Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se tergolong kejahatan terhadap hati nurani, menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada.
 Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup.
Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
C.     Dari sisi masyarakat :
1.      Peran apa yang harus di ambil masyarakat dalam menyikapi kasus teror ?
2.      Bagaimana respon masyarakat terhadap kasus teror ?
Jawaban :
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
            Sementara itu peran dan respon  masyarakat terhadap teroris pun harus aktif. Dalam aspek ini yang di maksud aktif adalah memberikan informasi kpada pihak yang berwajib terhadap sesuatu yang mencurigakan di lingkungn sekitarnya, selain itu pengetahuan masyarakat harus luas dengan di imbangi aspek keagamaan, agar tidak mengalami salah pandangan / penyimpangan pandangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar